Di sebuah desa kecil yang indah bernama Desa Harapan, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Budi. Ia adalah anak yang ceria dan penuh semangat. Budi tinggal bersama ayah dan ibunya yang bekerja sebagai petani. Meskipun hidup sederhana, keluarga Budi selalu bahagia karena mereka saling menyayangi.
Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Budi selalu membantu ibunya membersihkan rumah. Ia juga membantu ayahnya memberi makan ayam di kandang. “Budi, jangan lupa sapu halaman ya,” kata ibunya dengan lembut. “Baik, Bu!” jawab Budi sambil tersenyum.
Suatu hari, di sekolah, guru Budi, Bu Siti, memberikan tugas kepada semua murid untuk menulis tentang pahlawan mereka. Teman-teman Budi banyak yang memilih tokoh terkenal seperti Soekarno atau RA Kartini. Namun, Budi memilih orang yang sangat dekat di hatinya. Ia menulis tentang ayah dan ibunya.
“Ayah dan ibu adalah pahlawan dalam hidupku. Mereka bekerja keras agar aku bisa sekolah dan belajar. Ayah menanam padi di sawah dengan penuh kesabaran, sementara ibu menjaga rumah dan memasak makanan yang lezat untuk kami. Mereka selalu mengajarkanku untuk jujur, bekerja keras, dan menghormati orang lain,” tulis Budi dalam tugasnya.
Ketika tugas itu dikumpulkan, Bu Siti membaca tulisan Budi dengan mata berkaca-kaca. “Budi, tulisanmu sangat menyentuh hati,” kata Bu Siti. “Kamu benar-benar anak yang menghargai orang tua.”
Sepulang sekolah, Budi menceritakan tugasnya kepada ibu dan ayahnya. Mereka tersenyum bangga mendengar cerita Budi. “Kami bangga padamu, Nak,” kata ayahnya sambil menepuk pundak Budi.
Namun, suatu hari, hujan deras mengguyur desa selama berhari-hari. Sawah keluarga Budi terendam banjir, dan padi yang hampir panen rusak. Ayah Budi terlihat sangat sedih, tetapi ia tidak menunjukkan kesedihannya di depan Budi.
Melihat keadaan itu, Budi bertekad untuk membantu keluarganya. Ia mulai membantu ayahnya membersihkan sawah dari lumpur. “Ayah, jangan khawatir. Kita pasti bisa melewati ini bersama,” kata Budi dengan penuh semangat.
Tidak hanya itu, Budi juga membantu ibunya membuat keripik singkong untuk dijual di pasar. “Budi, kamu sudah banyak membantu kami. Ibu sangat bangga padamu,” kata ibunya sambil mengusap kepala Budi.
Kerja keras Budi dan keluarganya membuahkan hasil. Perlahan-lahan, mereka berhasil bangkit dari kesulitan. Padi yang baru ditanam mulai tumbuh, dan keripik singkong buatan ibu Budi laris manis di pasar.
Di sekolah, Bu Siti memuji ketekunan Budi. “Anak-anak, kita bisa belajar dari Budi. Ia tidak hanya menghormati orang tuanya, tetapi juga berusaha membantu mereka dalam kesulitan. Itulah sikap seorang anak yang baik,” kata Bu Siti kepada seluruh murid.
Budi merasa bahagia karena usahanya tidak sia-sia. Ia menyadari bahwa menghormati orang tua tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan perbuatan. Ia berjanji dalam hatinya untuk selalu menjadi anak yang bisa diandalkan oleh ayah dan ibunya.
Pesan ini terus diingat oleh Budi sepanjang hidupnya: “Hormat kepada orang tua adalah kunci kebahagiaan dan keberkahan.” Sejak saat itu, Budi tidak hanya menjadi inspirasi bagi teman-temannya, tetapi juga bagi seluruh warga desa.
Dengan semangatnya yang besar, Budi tumbuh menjadi pemuda yang sukses. Ia selalu mengenang masa kecilnya dengan rasa syukur dan cinta kepada orang tua yang telah mengajarkan arti kerja keras dan kasih sayang.